Jiwa korsa

Judul beberapa berita tentang Bea Cukai beberapa hari terakhir heboh. Ada 10 ribu dolar berserakan di atas lemari, ada Harley Davidson dan ada pula pejabat tinggi mau diperiksa terkait korupsi anak buahnya. Semuanya dikaitkan dengan kasus pejabat Bea Cukai yang ditangkap Polisi.
Untuk bahan obrolan, berita-berita ini gurih. Sekali dilempar, akan banyak komen yang keluar. Terhadap pekerjaan sehari-hari, ini hanyalah selingan dalam dinamika pekerjaan. Memang Bea Cukai penuh resiko, banyak godaannya, mafhum saja. Terhadap organisasi, banyak yang menyayangkan, utamanya karena merugikan reputasi organisasi. 

Reputasi adalah proses panjang. Dia dibangun seiring perjalanan waktu. Akumulasi kesan positif yang tampil pertama di memori setelah digerus oleh kesan negatif, saya coba beri definisi. Dari sini dianya dapat dianalogikan sebagai tabungan. Dia bukan kondisi sekarang yang lepas dari apa yang telah terjadi.  Dia ini adalah keniscayaan, karena sudah terjadi, dan itu terjadi karena kita masih ada kekurangan. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana menabung lebih banyak reputasi baik lagi. Olehkarenanya, ya sudahlah, semua sudah terjadi. 

Mengawal keadilan agar ditegakkan seadil mungkin adalah tugas utama.  Mengawal bukan membela diri, apalagi menyerang balik. Mengawal adalah dalam proporsional keadilan. Memastikan agar kawan kita tidak membayar lebih daripada seharusnya, institusi tidak dirugikan lebih dari patutnya.

Mungkin ada yang tidak setuju saya menyebut kawan di sini. Secara resmipun ada pimpinan yang mengatakan bahwa yang tidak ikut gerbong akan ditinggalkan. Apakah ini karena benar merasa dikhiananati karena usaha positifnya dimakan kejadian negatif, atau sekedar takut tidak mau ikut terkena getah, entah. Namun bagi saya, Bea Cukai bukan sekedar tempat kerja, tapi adalah keutuhan identitas. Dalam identitas itu ada orang-orang, kebanggaan, tujuan bersama, dan reputasi bersama. Identitas itu tidak ditentukan sedikit pimpinan, tapi dibentuk seluruh elemen. Dari sini, setiap orang Bea Cukai adalah bagian identitas itu terlepas baik buruknya. Ambil contoh kasus HS.

Bagi saya dan banyak pegawai lain, HS bukan hanya inisial, tapi adalah seorang pribadi, walau saya tidak kenal langsung. Dia tidak hanya tersangka yang diberitakan koran, tapi adalah seseorang dengan reputasi. Ada yang mengenal sebagai atasan yang peduli pada anak buah, pimpinan yang jagoan, mungkin ada juga sebagai pemimpin yang tegas. Benar atau tidaknya cerita ini, banyak kawan-kawan lain lebih tahu. Dan memori reputasi ini tidak begitu saja bisa hilang dengan adanya penangkapan. 

Karena memori itu ada dan akan terus ada, alangkah bagusnya kalau kita sanggup berdiri mendampingi sebagai kawan maupun kenalan. Tidak untuk membenarkan, apalagi mencoba menegakkan benang basah membenarkan yang salah. Semata karena penghargaan pada seorang saudara, turut merasakan kesulitan seorang teman yang sedang  bermasalah. Hanya dengan demikian kita menjadi manusia, dan meletakkan diri kita dalam kemanusiaan sepantasnya.

Sayapun dapat mengerti pikiran yang tidak setuju. Mungkin mereka merasa bahwa dengan kejadian ini, orang diluar lingkungan Bea Cukai akan mendapat bukti bahwa Bea Cukai tidak bersih. Takutnya kalau mereka membela kawannya, mereka merasa akan ada sangkaan bea cukai korup, yang sudah tertangkap saja masih dibela. Bagi saya pribadi, jauh panggang dari api. 

Kita semua tahu bahwa Indonesia memang korup. Ini bukan rahasia. Jalan beberapa ratus meter kita pasti dapat melihat buktinya. Jalan yang baru diaspal beberapa bulan lalu telah hancur lagi. Dipersimpangan ada pak ogah yang mengambil pungutan. Ada rumah dibangun di tanah orang. Ada pula yang berjualan bayar lapak bukan pada yang punya. Bayar parkir tidak ada tanda terima. Kalau kerja yang dipertimbangkan ceperan, bukan gajinya. Kemanapun kita menengok, ada jejaknya. 

Bea cukai sendiri, masih ada di Indonesia. Bea Cukai itu adalah bagian dari ke Indonesia an. Bea Cukai seutuhnya sangat Indonesia. Ada lemahnya, ada korupnya, tapi banyak pula baiknya. Saat ini kita coba memperbaiki, tapi apakah akan bersih segera semuanya, termasuk kesalahannya? Tentu tidak. Ada sejarah Bea Cukai tidak bersih, tapi institusi mana yang tidak? Karenanya, tak ada salahnya kita mengakui dulu kita kotor, asal sekarang kita bersih. 

Mengapa ini penting, apa pentingnya masalah emosional itu? Dari sudut pandang kepemimpinan, pengelola organisasi perlu mengelola performance dan kesehatan organisasi. Appresiasi diri termasuk hal yang besar  mempengaruhi kesehatan organisasi. Kalau pribadi yang dikenal harus dikikis dari ingatan, apakah akan ada rasa keutuhan organisasi? Tentu tidak, karena memori adalah bagian tak terpisahkan dari identitas. 

Bagaimana hal ini bisa membantu membentuk Bea Cukai yang lebih baik? Satu-satunya cara mewujudkan kenyataan yang lebih baik adalah berpijak pada kenyataan yang ada. Kalau yang dipijak tidak kita sukai, dapat kita lihat bersama mana yang tidak disukai itu, sehingga dapat sama-sama dihindari. 

Akhirnya, tidak peduli apa asal-muasalnya, saya berharap kasus ini segera ada kejelasannya. Bukan untuk membersihkan nama Bea Cukai, bukan pula agar polisi dapat nama. Tapi yang utama untuk penegakan keadilan, karena negara percaya adanya kebenaran (tuhan yang maha esa).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bro', Bea Cukai Apa Sih?

Esensi Kerja Pabean

Spending Rush Hour